Film pendek merupakan primadona
bagi para pembuat film indepeden. Selain dapat diraih dengan biaya yang relatif
lebih murah dari film cerita panjang, film pendek juga memberikan ruang gerak
ekspresi yang lebih leluasa. Meski tidak sedikit juga pembuat film yang hanya
menganggapnya sebagai sebuah batu loncatan menuju film cerita panjang.
Film pendek pada hakikatnya
bukanlah sebuah reduksi dari film cerita panjang, ataupun sekedar wahana
pelatihan belaka. Film pendek memiliki karakteristiknya sendiri yang berbeda
dengan film cerita panjang, bukan lebih sempit dalam pemaknaan, atau bukan
lebih mudah. Sebagai analogi, dalam dunia sastra, seorang penulis cerpen yang
baik belum tentu dapat menulis cerpen dengan baik; begitu juga sebaliknya,
seorang penulis novel, belum tentu dapat memahami cara penuturan simpleks dari
sebuah cerpen. Sebagai sebuah
media ekspresi, film pendek selalu termarjinalisasi –dari sudut pandang
pemirsa- karena tidak mendapatkan media distribusi dan eksibisi yang pantas
seperti yang didapatkan cerpen di dunia sastra.
Secara teknis, film pendek
merupakan film-film yang memiliki durasi dibawah 50 menit (Derek Hill dalam
Gotot Prakosa, 1997) . Meskipun banyak batasan lain yang muncul dari berbagai
pihak lain di dunia, akan tetapi batasan teknis ini lebih banyak dipegang
secara konvensi. Mengenai cara bertuturnya, film pendek memberikan kebebasan
bagi para pembuat dan pemirsanya, sehingga bentuknya menjadi sangat bervariasi.
Film pendek dapat saja hanya berdurasi 60 detik, yang penting ide dan
pemanfaatan media komunikasinya dapat berlangsung efektif. Yang menjadi menarik
justru ketika variasi-variasi tersebut menciptakan cara pandang-cara pandang
baru tentang bentuk film secara umum, dan kemudian berhasil memberikan banyak
sekali kontribusi bagi perkembangan sinema.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar