Di dunia ini begitu banyak bentuk kekuasaan yang ada. Tidak hanya di gedung pemerintahan maupun negara, tapi juga di rumah-rumah warga. Lewat sebuah cerita sederhana berdurasi delapan menit, Battleberhasil menyelami kerumitan kuasa dalam rumah tangga ini. Film pendek produksi SMKN 2 Salatiga ini dibuka dengan adegan rebutan remote televisi antara seorang kakak dan adik. Sebagai yang lebih tua, si kakak merasa lebih berkuasa atas fasilitas dalam rumah. Ia tidak peduli dengan aksi adiknya, yang bersikeras ingin mengambil remote televisi karena ingin menonton kartun kesukaannya.
Sampai pada akhirnya si adik memanggil ibunya dan hendak mengadukan kakaknya. Si kakak merasa terancam akan hal tersebut. Si kakak takut. Beberapa kali si kakak mencegah adiknya agar tidak memanggil ibunya, sampai pada akhirnya si adik memanggil ibunya namun tertahan bekapan tangan si kakak. Ibunya menegur si kakak agar mengalah. Si kakak tidak bisa mengelak. Kekuasaan yang dimiliki si kakak ternyata dapat runtuh karena satu tindakan oleh si adik yang memanggil ibunya. Si kakak pun mengatai adiknya sebagai tukang adu.
Aduan yang dilakukan oleh si adik pun adalah suatu bentuk kekuasaan tersendiri. Mungkin klise terdengarnya, atau beda perwujudannya, tapi dalam rumah seringkali ada rantai kuasa yang jelas: anak bungsu tunduk pada anak sulung, anak sulung tunduk pada orang tua, orang tua “tunduk” pada anak bungsu. Rantai kuasa inilah yang Battle berhasil petakan—dan tertawakan—lewat rangkaian ceritanya. Cerita baru bergerak apabila ada satu mata rantai yang ditentang—atau malah dinormalisir. Lihat bagaimana sang ibu mengatur anak-anaknya. Tanpa melihat apa yang sebenarnya terjadi, ibu langsung menegur si kakak dan membela si adik. Namun semua berubah ketika di satu adegan, ketika si ibu bilang kepada kakak dan adik bahwa ibunya akan pergi keluar rumah. Si adik panik bukan main, karena backingan-nya sudah tidak ada dan terjebak kembali pada kekuasaan si kakak.
Secara teknis, Fiqi Kurnia Rachman selaku sutradara cukup jeli dalam menyusun Battle. Tampilan elemen-elemen film selalu dibuat berbeda, untuk menekankan bahwa tokoh-tokoh dalam cerita ini punya kepentingan yang berbeda dan bertarung kuasa karenanya. Paling kentara tentunya tontonan si kakak dan si adik—yang satu acara memasak, satunya lagi kartun Spongebob. Sedikit kurang kentara adalah baju yang dikenakan si kakak dan adik—yang sulung warna merah, yang bungsu warna biru. Kecil memang, tapi turut berkontribusi pada penuturan cerita. Kesadaran akan detail sinematik ini patutlah kita apresiasi dari pembuat film yang tergolong masih belia ini.
Aspek lain yang patut juga kita apresiasi adalah bagaimana pembuat film mengembangkan lebih lagi potret kuasa dalam keluarga. Battle tidak hanya memetakan, tapi juga memberi gambaran bagaimana jadinya apabila kuasa itu diselewengkan. Bagusnya lagi, gambaran itu disajikan sejalan dengan logika anak-anak yang menghidupi film ini. Dalam satu adegan, ketika remote sedang berada di tangan kakak, terdengar suara pedagang berjualan roti. Si kakak meminta si adik membeli roti, dengan iming-iming akan menyerahkan remote kalau memang benar dibelikan. Terjadi kesepakatan di antara mereka berdua, yang kemudian diselewengkan. Si kakak tetap tidak memberikan remote televisi, dan si adik walau marah tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Battle adalah film yang mendidik tanpa harus “mendidik”, yang berceramah tanpa harus “ceramah”. Tidak ada pesan moral, tidak ada petuah bijak. Hanya ada skenario kuasa, tindakan, keputusan, dan konsekuensi-konsekuensi yang mengikutinya. Semuanya ditampilkan secara konkrit, ditampilkan secara komplit. Di tengah ramainya berita penangkapan pejabat tamak dan penguasa lalim, Battle menjadi kampanye anti-korupsi yang intim dan mengena untuk generasi penerus bangsa.
Battle | 2013 | Sutradara: Fiqi Kurnia Rachman | Negara: Indonesia